Minggu, 07 Juni 2009

Sebuah catan kritis:

“KALAU TIDAK KERJA, MAU MAKAN APA…?”
(Sebuah uraian kritis tentang historisasi kerja dalam logika modernisasi)

Sejarah mencatat pada masa kerajaan dahulu ada banyak kaum bangsawan dan pemilik tanah yang mempekerjakan banyak budak. Yang bekerja pada saat itu adalah para budak. Sejarah juga mencatat pada setelah revolusi industri di Inggris dan kebangkitan kaum Borjuis, memungkinkan para bangsawan mempekerjakan kaum budak bukan lagi menjadi satu kekuatan yang menghasilkan pendapat bagii para bangsawan. Pergerakan dan perkembangan industri memungkinan adanya pemilik modal yang membutuhkan para pekerja dimana para pekerja memiliki suatu arti yang harus di hargai dengan upah atau gaji. Tanpa melihat status sosial kemasyarakatan, kerja sudah menjadi bagian dari semua orang orang.

Ilustrasi di atas merupakan sebuah kenyataan yang merujuk kepada historisasi kerja; sejarah panjang tentang konsep kerja dan bagaimana kerja dimaknai. Perkembangan saat ini merupakan sebuah manifestasi dari daya upaya manusia dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan adanya sebuah pengejahwantahan daya pikir dan perilaku yang merujuk kepada sebuah tanggapan dan adaptasi serta proses pemanfaatan yang berfaedah. Modernasisasi di segala bidang kehidupan menjadikan sebuah pemetaan kritis dalam kerja masing-masing individu manusia.
Kerja merupakan sebuah daya manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep tentang kerja ini mengalami transformasi dalam sebuah hitungan sejarah ketika modernisasi di segala aspek kehidupan manusia menjadi tema yang dimufakati tanpa sebuah memorandum of understanding.
Satu hal yang bukan mustahil lagi kerja menjadi bagian dari setiap insan manusia di mana adanya kemungkinan bahwa manusia itu bekerja. Dalam bahasa sederhana seperti ada dalam judul tulisan ini: kalau tidak kerja, mau makan apa? Atau kalau tidak kerja saat ini bagaimana mau hidup? atau juga kalau tidak kerja bagaimana mau dapat uang?
Kerja saat ini sudah mengalami sebuah pergeseran makna dalm logika modernisasi. Ini bukan dalam skala kecil atau tertentu. Dalam tataran logika modernisasi kerja menjadi suatu perilaku yang urgen di mana manusia berkompetisi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ini bukan saja terjadi dalam skala kepentngan individu saja. Tapi juga dalam media yang luas yaitu negara atau masyarakat.
Saat ini dalam suatu negara sudah bukan satu hal yng bisa dipungkiri adanya kenyataan dinamisasi dan stabilisasi suatu masyarakat mendapatkan justifikasi dengan beroperasinya logika modernisasi dan developmentalisme atau pembangunanisme. Logika modernisasi, terutama banyak diilhami oleh asumsi-asumsi dasar teori evolusi yang memandang bahwa sejarah perkembangan manusia dan masyarakat berjalan linier dari masyarakat primitif menuju masyarakat modern atau maju. Perubahan menuju bentuk masyarakat modern diyakini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Oleh karena masyarakat modern merupakan bentuk masyarakat yang dicita-citakan, yang mengandung semua unsur yang disebut ‘baik’ dan ‘sempurna’, maka didalamnya terdapat apa yang oleh teori evolusi disebut sebagai kemajuan, kemanusiaan dan pemberadaban. Modernisasi dipandang sebagai sebuah proses transformasi yang sistematis. Dalam rangka mencapai status modern, struktur nilai-nilai tradisional secara total harus diubah dengan seperangkat struktur dan nilai-nilai modern. Akibatnya, modernisasi menghasilkan proses homogenisasi, dimana proses transformasi akan menghasilkan model masyarakat dan struktur sosial yang seragam.
Seiring perkembangan paradigma modernisasi, logika modernisasi berkembang dalam sebuah proses yang lebih menekankan pada proses pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan tersebut bertahap mulai dari tahap masyarakat tradisional dan berakhir pada tahap masyarakat dengan konsumsi massa tinggi (masyarakat modern). Pada perkembangannya, ada yang berasumsi bahwa jika sebuah negara hendak mencapai pertumbuhan ekonomi yang otonom dan berkelanjutan, maka negara tersebut harus memiliki struktur ekonomi tertentu. Yakni negara tersebut harus mampu melakukan mobilisasi seluruh kemampuan modal dan sumberdaya alamnya sehingga mampu mencapai tingkat investasi produktif di mana adanya pengembangan kualitas dan kuantifikasi dari masyarakat pekerja itu sendiri.
Dalam bingkai logika seperti ini, Indonesia lalu dibayangkan sebagai negara yang sedang mengalami proses perkembangan itu. Indonesia sedang berada pada proses menuju ‘kemajuan’ dan karenanya seluruh infrastruktur yang menopangnya, baik ekonomi, politik, sosial maupun budaya, mesti diarahkan ke sana. Pembangunan pada semua sektor tersebut, terutama sektor ekonomi-politik, menjadi pilihan yang cukup rasional dalam rangka pencapaian cita-cita ‘kemajuan’ itu. Modernisasi pertama-tama bertumpu pada upaya pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Pembangunan ekonomi dapat berjalan efektif jika ditopang dengan stabilitas politik dan keamanan nasional.
Dari rangkaian penjelasan di atas dapat disimpulkan bagaimana konsep kerja sudah mengalami pergeseran makna dan menjadi hak serta kewajiban dari setiap individu untuk tanpa sebuah strata atau perbedaan utnuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Proses modernisasi dan perkembangan IPTEK sudah memungkinkan adanya sikap kerja yang dari individu manusia itu tersebut entah itu dalam skala sempit, sebagai pribadi itu sendiri maupun dalam skala global sebagai sebuah negara.
Akhirnya sebuah pertanyaan sinistik kepada masing-masing individu: “kalau tidak kerja, mau makan apa?” menjadi satu hal yang memkanai adanya logika modernisasi dalam sebuah konsep akan sejarah kerja itu sendiri sampai saat ini.